JurnalTepungTerigu

Ketika Tidak Ada lagi Omelan Nenek Tentang Makan dan Lampu Kamar

2 comments
Source: Arsip pribadi

Setelah kita mengalami banyak tekanan di kota perantauan, melewati setiap harinya dengan penuh emosi yang tak terduga, menghabiskan waktu untuk mengejar prestasi, menempa diri dengan aktivitas perkuliahan dan berbagai macam kegiatan organisasi, atau beberapa jam bekerja part time untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kampung halaman adalah satu DESTINASI yang selalu dirindukan saat punya banyak waktu luang bagi para perantau. Aku juga termasuk salah satu di dalamnya.


Dua tahun terakhir setiap kali pulang kampung dan menghabiskan beberapa hari di rumah, seringkali yang kulakukan adalah menonton film, baca buku, dan leyeh-leyeh meregangkan badan setelah bersih-bersih rumah atau membantu ummi menyiapkan dagangannya di pagi hari. Selebihnya, aku akan menghabiskan waktu di rumah hanya dengan nenek dan kakek seharian jika tidak ada agenda bertemu teman atau pun bepergian ke suatu tempat. Dan sudah barang tentu akan terdengar beberapa macam omelan nenek yang menjadi list rutinitas dalam sehari.

Omelan pertama mengenai lampu yang menyala hingga siang hari. Aku senang sekali menyalakan lampu, sedang nenek hobi sekali mematikannya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ia akan mematikan aliran listriknya tanpa mengatakan apapun. 

Pernah kejadian saat aku tengah asyik mengetik sesuatu, entah aku lupa tentang apa. Namun yang kuingat, kala itu aku masih menggunakan komputer jadul tahun ‘90-an. Setelah hampir mencapai tiga halaman, tiba-tiba komputer mati dan aku belum menyimpan dokumen tersebut. Sial! desisan dan makian dalam hati mulai bermunculan. Bagaimana jika kamu mengalami hal yang sama?

Oke, setelah kurang lebih setengah jam berlalu, aku memutuskan keluar kamar karena listrik tidak kunjung menyala lagi. Oh my God, aku tercengang saat tahu komputer mati bukan karena listrik yang padam, namun kabel utama yang seharusnya menancap pada colokan listrik di dinding luar kamarku telah dicabut. Neneeeeeeek! Gerutuku dalam hati semakin menjadi-jadi. Kemudian nenek datang menghampiriku setelah melihat ekspresi cucunya ini yang kusut. “Nenek cabut kabelnya, sudah tau hari ini terang benderang, masih saja nyalain lampu,” ucapya dengan sedikit menggumam. Kabel itu kan tidak ada sambungannya ke lampu kamarku, Nek! Arrrrrgh....

Selain tentang lampu, lanjut pada omelan berikutnya, yakni perintah nenek untuk makan yang diucapkannya berkali-kali. Mungkin tidak berlebihan jika kubilang setiap setengah jam sekali nenek menyuruhku makan. Entah kenapa, ketika di rumah selera makanku menurun. Sehari bisa jadi cuma makan sekali, bahkan seringkali hanya ngemil sepanjang hari. Apalagi saat sedang khusyuk menamatkan beberapa film dalam kamar. Tidak jarang aku merasa terganggu dengan aktifitas yang sedang kulakukan. Nenek mengetuk pintu kamar, memanggil dari dapur, menghampiriku saat nonton TV di rumah paman, menanyai orang-orang sekitar rumah saat aku tidak di kamar hanya untuk menyuruhku makan. Aku bosan mendengarnya, sumpah aku bosan!

Sering sekali aku tidak mengindahkan permintaan nenek untuk segera makan. Bukan karena masakannya tidak enak, tapi memang tidak berselera makan. Tidak jarang juga aku mengeluh karena nenek tidak ada capeknya untuk menyuruhku makan. Aku bukan anak kecil, kalau lapar ya nanti akan makan makan sendiri. Batinku. Tahukah kamu apa yang biasanya kulakukan untuk menghindari nenek? Kupasang headset, mengunci pintu kamar, atau pura-pura tidur dalam waktu yang lama.

Nenekku merupakan salah satu perempuan yang gigih, tampak sekali ketika menghadapi tingkahku dan bagaimana rutinnya ia menyuruh makan sebagaimana yang kuceritakan. Meskipun sudah tua renta, di usianya yang memasuki angka 70, nenek masih banyak melakukan aktifitas seperti memasak, memberi makan hewan peliharaan, sesekali ke sawah membantu tetangga panen jagung atau padi, dan tentunya menjadi orang pertama yang mematikan seluruh lampu di rumah dan orang paling cerewet dalam persoalan makan. Meski aku berkali-kali memintanya beristirahat, berkali-kali pula ia masih ngotot menyiapkan makanan yang seringkali kuabaikan.

Setelah waktu berlalu begitu lamanya, saat aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk pulang kampung seperti tahun-tahun sebelumnya, aku mulai mengerti apa yang sebenarnya diinginkan nenekku. Ketika ia tidak lagi punya tenaga sebanyak tahun-tahun sebelumnya, aku baru menemukan maksud yang tidak tersampaikan dari seseorang yang sudah tua renta itu. Apalagi dalam kondisi di mana aku tengah sendiri, menjalani hidup tanpa orang-orang terdekat, saat lapar dan tidak ada seorang pun yang mengajakku makan bersama. Hampanya benar-benar baru terasa.

Ingatanku kembali pada masa-masa bersama nenek, omelannya yang berisik di telinga ternyata mampu menemani kesendirinku di perantauan. Perhatian yang teramat berharga tersebut tidak kudapatkan di sini, di persinggahan sementara. Aku kini paham bahwa mungkin hanya itulah bentuk kasih sayang yang bisa dia berikan padaku di usianya yang senja. Tidak ada cara lain yang bisa dia lakukan lebih banyak lagi kecuali menyuruhku makan. Fisik tidak lagi kuat untuk merawatku, apalagi harta, ia pun tidak punya.

Pernah sekali saat aku hendak kembali merantau, nenek diam-diam menghampiriku dan menjulurkan uang sepuluh ribu sebagai pesangon. Aku menolak, nenek memaksa. “Sstt..jangan bilang ke siapa-siapa. Meskipun sudah tua begini, nenek juga ingin sekali memberikanmu bekal untuk pergi jauh. Yaa memang Cuma sepuluh ribu, itu pun pemberian dari ummimu,” begitu ucapnya padaku lalu pergi.

Setelah mendengar ucapannya, aku tidak mampu lagi menolaknya. Pipiku pun basah tiba-tiba sembari menggenggam uang sepuluh ribu tersebut tanpa antisipasi.

Sungguh, saat ini, aku rindu sekali nenek mengomeliku untuk makan dan mematikan lampu kamar.
Miela Baisuni
Jatuh cinta pada buku sejak sekolah menengah, menulis adalah kecintaan mulai usia yang kalau ditanya jujur terus jawabannya. Sekarang milih voice over dan travelling sebagai pelengkap hobi sebelumnya. Nice to see you!

Related Posts

2 comments

Post a Comment